Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di  Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting  dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito,  Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil  (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan,  Sampit dan Pembuang yang kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.[3]
Pada abad ke-16 Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, penerus Negara Dipa yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai,  seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju  kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi  pemotongan kepala (ngayau)  misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang (Nanang  Sarang) membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di  Podok, demikian juga di masa Pangeran Suryanata II (Sultan Agung). Raja  Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri  Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan.  Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat  dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting.[3]  Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja  Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang,  yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin  dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.[4]Menurut  laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan  pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai  Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah  Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu  Kota Ringin[5]
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam  dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah,  Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan  Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura sampai Tamiang Layang dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam  al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah  Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan  kolonial Hindia Belanda. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan  Tengah berada di bawah Hindia Belanda.[6]
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849,  daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling  menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.[7] Daerah-daerah di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar.[8]
Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih  murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat  transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki  daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh  Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri  Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan  dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di  Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan  Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah.  Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan  daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala  suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke  pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota  Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang  memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para  satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan  Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun  Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun  1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC,  berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah,  dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas  secara leluasa di selatan Kalimantan. Pada 26 Juni 1835,  Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan  agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan  merintangi upaya-upaya misionaris[9] Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit.[10]  Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat  untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan  langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai  mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk  memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja  mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka  lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905,  setelah Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai  Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen  Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan  Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai  Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan  mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku  Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran  diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan  menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut  Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik  bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan  perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di  Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan  Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik.  Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh  pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin,  Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah  karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat  itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan  Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti  Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah  dalam perdagangan lada.[11]  Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik  orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik  leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah  dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib  tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya  menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala  yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa  Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.
Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun  telah bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam  lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah  mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat  sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang  dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani,  Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat  Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat  itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak.  Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang  bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat  aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei  Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto  Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting,  Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan  perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun  1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai  cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh J. Uvang Uray , F.J.  Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959,  Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo.  Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di  daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan  Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat,  dan masih banyak lainnya.
Tahun 1942, Kalimantan Tengah disebut Afdeeling Kapoeas-Barito yang terbagi 6 divisi.[12]
Senin, 26 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
MOTIVASI
Kerusakan alam Kab.Murung Raya yang menjadi motivasi saya untuk melakukan pelestarian alam yang telah rusak akibat :
* penebangan hutan secara brutal oleh masyarakat dan
pemerintah dengan alsan yang bermacam-macam yang
pada intinya hanya mengakibatkan kerusakan belaka
tanpa pernah peduli untuk membenahinya kembali
* belum tergalinya secara profesional anaka tumbuhan
yang tumbuh dihutan Kab.Murung Raya yang bisa
dijadikan obat-obatan tradisioanl yang bisa
dijadikan alternatif untuk pengobatan
* tidak terlindunginya hewan hewan buas asli
kalimantan dari perburuan liar masyarakat yang
akibatnya memusnahkan populasinya.
* penebangan hutan secara brutal oleh masyarakat dan
pemerintah dengan alsan yang bermacam-macam yang
pada intinya hanya mengakibatkan kerusakan belaka
tanpa pernah peduli untuk membenahinya kembali
* belum tergalinya secara profesional anaka tumbuhan
yang tumbuh dihutan Kab.Murung Raya yang bisa
dijadikan obat-obatan tradisioanl yang bisa
dijadikan alternatif untuk pengobatan
* tidak terlindunginya hewan hewan buas asli
kalimantan dari perburuan liar masyarakat yang
akibatnya memusnahkan populasinya.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar